sang imajiner

Foto saya
surabaya, jawa timur, Indonesia
Warga PMII Kom. Ushuluddin

Senin, 01 Desember 2008

HERMENEUTIKA

TEOLOGI PEMBEBASAN DALAM PERSPEKTIF FARID ESACK

Sebagai firman Allah, al-Qur’an scsungguhnya merupakan bentuk nyata campur tangan Tuhan dalam sejarah manusia. Namun, ia tidak bermakna tanpa intervensi pikiran dan kesadaran manusia itu sendiri. Oleh karena itu, cara manusia mendekati al-Qur’an sangat berperan dalam menginterpretasikannya dan menghasilkan makna. Sudah banyak kita jumpai warisan tradisional tafsir al-Qur’an yang berlimpah dalam Islam. Sebagai akibat perkembangan baru kajian Islam di dunia dan pengaruh perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang semakin canggih pada umurnya, kajian terhadap al-Qur’an pun semakin membuka diri terhadap pertumbuhan metodologi dan pendekatan kontemporer.

Hermeneutika kontemporer membuka pengakuan terhadap cara baru pembacaan al-Qur’an yang menerirna fakta adanya prasangka-prasangka yang sah. Metode ini ternyata mengilhami sejumlah sarjana muslim untuk melakukan interpretasi terhadap fenomena al-Qur'an, misalnya Farid Esack.

Dalam makalah ini kami akan membahas metode hermeneutika yang dikembangkan oleh Farid Esack, yaitu hermeneutika pembebasan. Sebelumnya, kami di sini akan mengulas tentang biografi Farid Esack serta karya-karyanya dalam bentuk buku atau artikel-artikel.

A. Biografi Farid Esack

Farid Esack yang memiliki mana lengkap Maulana Farid Esack lahir tahun 1959 di Cape Town, daerah pinggiran kota Wynberg, Afrika Selatan, dari seorang ibu yang ditinggal suaminya bersama lima orang anaknya lainnya. Farid Esack bersama saudara kandung dan saudara seibu hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, kawasan pekerja miskin untuk orang hitam dan kulit berwarna. Ibu Farid Esack kemudian memerankan posisi ibu sekaligus ayah yang harus mencari nafkah hidup bagi enam orang anak yang masih kecil-kecil. Ibunya bekerja sebagai pencuci di tempat pencucian (laundry) untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yang kelaparan itu.

Pendidikan dasar dan menengahnya di tempuh di Bonteheuvel. Pada usia 9 tahun, ketika teman sebayanya mulai memasuki kehidupan gangster dan minuman keras, Farid Esack justru bergabung dengan Jamaah Tabligh. Usia 10 tahun dia sudah menjadi guru di sebuah madrasah lokal.[1]

Tahun 1974, Farid Esack ditahan dinas kepolisian Afrika Selatan karena dianggap merongrong pemerintahan rezim apartheid. Namun, tidak lama kemudian ia dibebaskan dan pergi ke Pakistan untuk melanjutkan studinya. Di Pakistan, Farid Esack melanjutkan studi di Seminari (Islamic College) atas dana beasiswa. Dia menghabiskan waktunya selama sembilan tahun (1974-1982) sampai mendapat gelar kesarjanaan di bidang teologi Islam dan sosiologi pada Jamî’ah al-Ulûm al-Islâmiyyah, Karachi. Setelah itu, ia pulang ke Afrika Selatan karena tidak tahan melihat negaranya sedang berjuang melawan apartheid.[2]

Tahun 1990, Farid Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jami’ah Abi Bakr, Karachi. Di sini dia menekuni Studi Qur’an (Qur’anic Studies). Tahun 1994, Farid Esack menempuh program Doktor di Pusat Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim (Centre for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations) University of Birmingham (UK), Inggris. Puncaknya, tahun 1996, Farid Esack berhasil meraih gelar Doktor di bidang Qur’anic Studies.[3]

Farid Esack memegang peranan penting di berbagai lembaga dan organisasi, seperti The Organisation of People Aginst Sexism dan The Capé Against Racism and the World Conference on Religion and Peace. Dia juga rutin menjadi kolumnis politik di Cape Time (mingguan), Beeld and Burger (dua mingguan), koran harian South African dan kolumnis masalah sosial-keagamaan untuk al-Qalam, sebuah tabloid bulanan Muslim Afrika Selatan. Ia juga menulis di Islamica, Jurnal tiga bulanan umat Islam di Inggris serta jurnal Assalamu’alaikum, sebuah jurnal Muslim Amerika yang terbit tiga bulan sekali.

Dalam bidang akademik, Farid Esack menjabat sebagai Dosen Senior pada Department of Religius Studies di University of Western Cape sekaligus Dewan Riset project on Religion Culture and Identity. Disamping itu, ia juga pernah menjabat sebagai Komisaris untuk Keadilan Jender, dan sekarang diangkat menjadi Guru Besar Tamu dalam Studi Keagamaan (Religious Study) di Universitas Hamburg, Jerman. Esack juga memimpin banyak LSM dan perkumpulan, semisal Community Depelovment Resource Association, The (Aids) Treatment Action Campaign, Jubilee 2000 dan Advisory Board of SAFM.[4]

Saat ini, waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar berbagai mata kuliah (wacana) yang bertalian dengan masalah keislaman dan Muslim di Afrika Selatan, teologi Islam, politik, environmentalisme dan keadilan jender di sejumlah Universitas di berbagai penjuru dunia, antara lain, Amsterdam, Cambridge, Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Birmingham, Makerere (Kampala) Cape Town dan Jakarta.

B. Karya-karya Farid Esack

Karya-karya Farid Esack sangat banya, baik berupa artikel yang ada dalam home page-nya maupun dalam bentuk buku. Adapun karya dari Farid Esack yang tertuang dalam bentuk buku, diantaranya:

  1. Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression”, Oneworld: England, 1997. Edisi Indonesia: “Membebaskan yang Tertindas; Al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme”, terj. Watung A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000.
  2. On Being A Muslim: Finding a Religious Path in The World today”, Oneworld: England, 2000.

3. The Qur’an: a Short Introduction”, Oneworld: England, 1997. Edisi Indonesia: "Samudra Al-Qur'an", terj. Nuril Hidatyat, Jakarta: Diwa Press, 2007.

Adapun artikel Farid Esack yang ada dalam home page-nya, antar lain:[5]

1. Muslim Engaging The Other and Humanum,

2. The Unfinished Business of Our Liberation Struggle.

3. How Liberated Is Christian Liberation Theology,

4. Religio Cultural Diversity: For what and With Whom? Muslim Reflections from a Post Apartheid South Africa in the Throes of Globalization,

5. Why Celebrate Women’s Day?.

6. The Liberation Struggle in South Africa: The Bases of Our Hopes, 1988.

C. Metode Teologi Pembebasan Farid Esack

Dalam diskursus dan khazanah intelektual Islam, Afsel (Afrika Selatan) temapt Farid Esack lahir boleh dikatakan sebagai kawasan yang kurang dipertimbangkan dalam peta pemikiran Islam. Sebagaimana Islam di Asia Tenggara, atau kawasan-kawasan di luar Jazirah Arab dan Afrika bagian utara, Afsel seringkali ditempatkan sebagai periferi dalam studi-studi keislaman. Wilayah Timur Tengah adalah core-nya yang pada taraf tertentu mensimplifikasi keragaman wajah Islam – dan oleh karenanya – mengeklusi konvisinitas pemikiran keislaman yang muncul di kawasan lain. Dengan kata lain, pemikiran keislaman yang timbul di luar Arab selalu dianggap subordinat dari koordinat keilmuan Islam (the centre of Islam).

Justru di negeri yang tersohor dengan sistem apartheid inilah muncul suatu pemikiran keagamaan yang sangat tipikal dengan munculnya Maulana Farid Esack dengan organisasi The Call of Islam-nya yang berambisi mewujudkan “Islam Afsel.” Struktur penindasan yang nyaris sempurna seperti digambarkan Esack ketika melukiskan penderitaan ibunya yang tertindih tiga lapis penindasan (triple oppression): apartheid, patriarkhi dan kapitalisme, memang menjadi krisis kemanusiaan yang khas Afsel, terutama hegemoni sistem apartheid yang telah sekian lama berurat akar. Konteks lokal inilah dijadikan Esack sebagai “tempat berteologi” (locus theologicus) dengan menerjemahkan teologi sebagai wacana-praksis pembebasan kaum tertindas.

Sulit dipungkiri, peran Esack dengan perangkat organisasi pendukungnya dalam mensosialisasikan pemikiran keagamaan yang tipikal Afsel. Uniknya, pemikiran keagamaan yang digagasnya langsung merujuk pada sumber pokok ajaran Islam, yakni al-Quran, yang makin menemukan relevansinya dengan latar belakang disiplin keilmuan Esack. Apa yang dirumuskan Esack sebagai hermeneutika pembebasan al-Quran adalah merupakan catatan kaki dari produk refleksi pemikiran teologis dan pergumulan praksis dengan hegemoni, dominasi dan represi rezim apartheid yang menggencet rakyat Afsel pada umumnya.

Metode hermeneutika Esack tidak lahir dengan sendirinya tetapi di dasarkan dari berbagai pemikiran, khususnya Gueterrez, Arkoun dan Rahman.[6] Esack mengambil konsep pembebasan dari Gueterrez dan double movement Rahman untuk menjelaskan soal praksis dan semangat teks, dan mengambil konsep regresif-progresif Arkoun untuk memberikan landasan kontekstualisasi teks pada masa kekinian. Selain itu, Esack juga berbeda dengan penempatan posisi penafsiran. Dalam pola hermeneutika biasa, eksistensi teks dalam konteks (lokus penafsiran) ditentukan oleh “kuasi transformatif” yang mampu menggeser paradigma atau model cara baca terhadap teks. Akan tetapi, Esack justru menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks partikular (prior texts) dan responsinya terhadap konteks tanggapan audiens, serta menentukan arti penting relevansi teks dalam konteks kontemporer. Sedemikian, sehingga ditemukan “makna baru” yang dibutuhkan. Yakni, makna baru yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks partikular (sosial-politik-keagamaan) Afrika Selatan. [7]

Teori hermenutika Esack ini didasarkan atas pembacaannya terhadap realitas praksis. Ketika realitas tersebut harus dirubah, karena terjadi ketimpangan, maka disana dicarikan justifikasinya dari ayat-ayat, karena semangat teks sesunguhnya adalah pembebasan dari ketimpangan. Inilah rumusan khas hermeneutika Esack yang tidak ditemukan dalam hermeneutika lainnya. konsep kerja sama Esack benar-benar di dasarkan atas pembacaannya atas realitas praksis Afrika Selatan dan metode hermenutika yang dikembangkannya. Karena itu, hasilnya memang sering berbeda atau bahkan berseberangan dengan penafsiran-penafsiran klasik. Akan tetapi, Esack tidak berarti sama sekali meninggalkan tafsir klasik. Ia tetap dan justru menggunakannya dalam upaya mendukung pemikiran dan proses hermeneutikanya.

Esack meyakini bahwa al-Qur'an diwahyukan secara progresif sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada masa pewahyuan, dan pada masa selanjutnya harus terus dibaca seperti itu. Pada tahap awal, Esack berupaya menetapkan identitas al-Qur'an sebagai sebuah wahyu yang diturunkan secara bertahap. Ini adalah satu-satunya cara untuk memahami sebagian besar garis pedomannya (huda) yang abstrak kepada kemanusiaan melintasi ruang dan masa. Prinsip tadrij atau pewahyuan secara gradual sangat penting di sini. Hal ini telah jelas dinyatakan dalam al-Qur'an sendiri pada surat al-Isra', ayat 106 dan al-Furqon ayat 32. Terdapat teknik yurisprudensial lain yang digunakan oleh para ilmuwantradisional yang menguatkan posisi ini. Teknik-teknik ini adalah asbab al-nuzul dan naskh.[8]

Asbab al-nuzul adalah suatu prinsip yang banyak digunakan dalam kajian Islam tradisional ketika menyangkut kampanye perang, biografi Nabi, dan lain-lain. Lebih dari itu, sebenarnya ia lebih berfungsi sebagai perangkat untuk membuktikan validitas kesejarahan al-Qur'an. Dalam artian, bahwa Tuhan memperhatikan dan benar-benar mewahyukan kepada masyarakat sesuai kebutuhannya.[9]

Naskh pada sisi lain, diperuntukkan bagi beragam situasi. Menurut Esack, relevansinya bagi kita di sini adalah ketika ia digunakan untuk mencabut ayat-ayat pertama untuk kepentingan yang terakhir, untuk membatalkan praktik profetik dengan sebuah perintah al-Qur'an tertentu dan akhirnya mencabut atau mengklarifikasi perintah al-Qur'an dengan praktik Nabi. Semua ini menekankan keberadaannya sebagai wahyu progresif yang, sebagaimana diyakini Esack, menampilkan kontekstualisasi sebagai metode yang divalidasi oleh para ahli hukum klasik dalam upaya mereka memahami al-Qur'an.[10]

Menurut Esack, meyakini signifikansi al-Qur'an yang abadi tidak sama dengan meyakini sebuah teks yang tak memiliki waktu dan ruang (ahistoris). Esack selalu menegaskan bahwa hermeneutika secara umum harus dipahami sebagai ilmu yang merefleksikan bagaimana sebuah kata atau peristiwa masa lalu dan budayanya bisa dipahami dan bermakna secara eksistensial pada situasi kekinian. Hermeneutika sebagai metode memahami al-Qur'an sangat mendesak penerapannya. Hal itu, menurutnya, karena umat Islam, meskipun sangat bersepakat tentang sifat divinitas al-Qur'an, memiliki perbedaan yang cukup lebar tentang peran al-Qur'an dan cara memahaminya. Dalam kerja penafsiran, hermeneutika penerimaan akan mengangkat persoalan tentang pergeseran yang terjadi dalam horizon-horison audiens yang berbeda dan transformasi antara horizon masa lalu dan masa kini tentang ekspektasi terhadap teks.

Bagi Esack, keilmuan Islam tradisional setidaknya akan memiliki tiga kendala untuk bersinergi dengan hermenutika sebagai sebuah metode memahami al-Qur'an, yaitu: Pertama, keilmuan Islam tradisional meskipun memiliki cara pemahaman tesendiri tentang kontekstualisasi dalam memahami al-Qur'an, benar-benar memegang teguh ide bahwa al-Qur'an adalah kalam Tuhan yang trans-kontekstual dan oleh karenanya qadim. Di sisi lain, desakan hermeneutika atas konteks dan kontingensi manusian dalam upaya pencarian makna menunjukkan bahwa al-Qur'an tidak berarti apapun di luar konteks sosio-historisnya, namun selamanya ia adalah sebuah teks yang memerlukan interpretasi.

Penekanan hermeneutika pada agensi manusia dalam memproduksi makna bertentangan dengan ide keilmuan tradisional yang menegaskan bahwa Tuhan bisa membekali manusia dengan sebuah pemahaman yang paling tepat dan sempurna. Esack mengatakan: "memberi peran besar kepada manusia berarti memandang bahwa makna itu sendiri merupakan sebuah pertarungan dalam relasi-relasi kuasa; ketuhanan-pun berada di dalamnya dan tak bisa dianggap transenden di luar pertarungan itu sebagai penjamin makna paling akhir."[11]

Pada satu sisi, keilmuan Islam tradisional membuat pembedaan yang ketat antara pewahyuan, penafsiran, dan penerimaan. Sementara itu, hermeneutika penerimaan, di sisi lain, tidak berusaha menemukan kehendak orisinal sang author yang tentu saja sulit diprediksi (apalagi dalam kasus Tuhan). Sebaliknya, ia mempelajari konstribusi pemahaman yang terus dan selalu berubah tentang teks.

Bagi Esack, persoalan fundamental dalam penafsiran al-Qur'an adalah tentang; oleh siapa dan pada kepentingan siapa kerja hermeneutika diperuntukkan. Memahami teks menurutnya mencakup suatu kesadaran akan tiga unsure yang saling terkait, yakni teks dan author, penafsir, dan penafsiran.[12]

Meskipun seseorang sadar akan pentingnya hermeneutika dan dengannya memahami al-Qur'an, ia masih tidak mampu secara memadai menjawab ketakutan yang dicemaskan keilmuan tradisional. Dalam hal ini, Esack memberikan seperangkat panduan yang ia sebut sebagai kunci-kunci hermeneutika untuk menafsirkan al-Qur'an. Kunci-kunci ini tidak hanya sebagai berfungsi sebagai sebuah lensa optic yang dengannya orang harus mengamati al-Qur'an, namun juga berarti sebagai pematah setiap penafsiran yang bertendensi sembarangan.

Kunci-kunci ini ketika digunakan secara seksama diharapkan akan membekali orang beriman dengan seperangkat instrument guna memahami pesan transenden al-Qur'an, walaupun, menurut Esack, tetap berujung pada perdebatan. Bagi Esack, kunci-kunci ini hendak merefleksikan bahwa praktik seseorang (praksis) akan menjadi ujian ata kepatan penafsiran seseorang. Tidak ada mukjizat dan keajaiban yang akan datang dengan menerapkan ini, ini hanya sebuah proses trial and error, namun dengan semacam kompas untuk membimbing seseorang mengarungi samudera kehidupan yang bergolak.

Kunci-kunci hermeneutika yang diajukan oleh Esack dikembangkan dari aktivitasnya sebagai seorang intelektual organik saat berjuang melawan rezim Aphartheid di Afrika Selatan. Kunci-kunci itu adalah taqwa (integritas dan kesadaran yang terkait dengan kehadiran Tuhan), tauhid (keesaan Tuhan), nas (manusia atau rakyat), mustadl'afin fi al-ard (kaum tertindas di muka bumi), 'adl dan qisth (keadilan), dan jihad (perjuangan dan praksis). Kunci-kunci tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan bagaimana hermeneutika pembebasan al-Qur’an bekerja, dengan pergeseran yang senantiasa berlangsung antara teks dan konteks berikut dampaknya terhadap satu sama lainnya.[13]

Kunci-kunci di atas juga digunakan untuk tujuan tertentu dan tersruktur; dua kunci pertama taqwa dan tauhid dimaksudkan sebagai pembangunan kriteria moral dan doktrinal yang akan menjadi lensa teologis dalam membaca al-Qur’an terutama teks-teks tentang pluralisme dan solidaritas antariman. Dua kunci berikutnya al-nas dan al-mustad’afuna fi al-ardh sebagai pengukuhan terhadap konteks atau lokasi aktifitas penafsiran, sedang dua kunci terakhir adl–qisth dan jihad merupakan refleksi dari metode dan etos yang menghasilkan dan membentuk pemahaman kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat yang diwarnai ketidakadilan.[14]

Teologi pembebasn yang diyakini Esack adalah salah satu upaya untuk melepaskan agama dari struktur sosial, politik dan keagamaan yang menuntut kepatuhan mutlak, menuju kearah kebebasan semua manusia dari segala bentuk ketidakadilan dan ketertindasan termasuk dalam hal etnis, gender, kelas dan agama. Teologi pembebasan berusaha untuk meraih hal ini lewat kolaborasi dan kerja sama dengan mereka yang mencari pembebasan sosial dan ekonomi. Sebuah teologi pembebasan Islam merujuk inspirasinya dari al-Qur'an dan perjuangan semua Nabi. Hal itu dilakukan dengan jalan memahami al-Qur'an dan keteladanan para Nabi dalam suatu proses refleksi teologis bersama dan berkesinambungan demi sepenuhnya peningkatan praksis pembebasan.

PENUTUP

Dari pemaparan di atas dapat kami simpulkan bahwa metode hermeneutika yang dikembangkan Farid Esack sebenarnya tidak berbeda dengan konsep liberation theology Gueterrez, bahkan memang diilhami dari sana. Ia tidak berangkat dari teks menuju konteks, melainkan dari konteks (praxis) baru kepada teks. Hasil pembacaan atas teks kemudian diaplikasikan kepada praxis. Karena itu, hermeneutika Esack mempunyai nilai lebih dibanding yang lain. (a) Hermeneutika Esack tidak hanya berputar pada wacana melainkan praktis. Yang penting adalah bagaimana dapat menggerakan masyarakat, bukan pada bentuk argumentasinya. (b) Hermeneutika Esack bukan penafsiran spekulatif melainkan mengarah pada tujuan tertentu, yaitu perubahan ke arah terciptanya tatanan masyarakat yang berkeadilan.

Konsep kerjasama Esack didasarkan atas kepentingan sosiologis dan teologis. Secara sosiologis, kondisi masyarakat Afrika Selatan membutuhkan kerja sama untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, sedang secara teologis didasarkan atas penafsirannya terhadap teks al-Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an secara eksplisit dan implisit menghargai dan menerima kebenaran pada agama lain, sehingga kerja sama muslim-non muslim harus dilakukan atas dasar kesadaran teologis ini.

DAFTAR PUSTAKA

Esack, Farid, 2000. Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur'an, Liberalisme, Pluralisme. Bandung: Mizan.

Esack, Farid, 2007. Samudra Al-Qur'an. Jakarta: Mizan.

Esack, Farid, 2006. Menghidupkan Al-Qur'an; Dalam Wacana dan Prilaku. Jakarta: Insani Press

http://www.Home page Farid Esack.com

Mustaqim, Abdul, Syamsudin, Sahiron, 2002. Studi Al-Qur'an Komtemporer; Wacan Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara Wacana.



[1] http://www.Home page Farid Esack.com

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur'an, Liberalisme, Pluralisme. (Bandung: Mizan, 2000), hal. 120

[7] Ibid. hal. 121

[8] Farid Esack, Menghidupkan Al-Qur'an; Dalam Wacana dan Prilaku. (Depok: Insani Press, 2006), hal. 167

[9] Ibid. 170

[10] Farid Esack, Menghidupkan Al-Qur'an; Dalam Wacana dan Prilaku. hal. 170

[11] Opcit. hal.190

[12] Farid Esack, Samudra Al-Qur'an. (Jakarta: Mizan 2007), hal. 89

[13] Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur'an Komtemporer; Wacan Baru Berbagai Metodologi Tafsir. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hal. 200

[14] Ibid. hal. 203

EKSISTENSI AL-QURA’N SEBAGAI SUMBER INTELEKTUAL

EKSISTENSI AL-QURA’N SEBAGAI SUMBER INTELEKTUAL

DAN SPIRITUAL

A. Pendahuluan

Sebagai agama dan ajaran, Islam mempunyai kitab suci yang agung dan otetik, menjadi petunjuk dan pedoman hidup yang sejati. Al-Qur’an datang membuka lebar-lebar mata manusia agar mereka menyadari jati diri dan hakekat keberadaan mereka dipentas bumi, sehingga tidak terlena dengan kehidupan sesaat di dunia dan tidak menduga bahwa kehidupan hanya berawal dari kelahiran dan berahir dengan kematian. Al-Qur’an mengajak manusai berfikir tentang kekuasan Allah, dengan berbagai argumentasinya mengajak mereka untuk membuktikan wujud Tuhan, adanya hari kebangkitan dan bahwa kebahagiaan mereka pada hari itu ditentukan oleh sikap hidup mereka di dunia.

Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW. semestinya tidak difahami hanya sebagai teks suci yang membacanya adalah pahala sehingga membaca Al-Qur’an hanya merupakan bagian dari bentuk kegiatan ritual semata. Realitas inilah yang telah terjadi di masyarakat, belakangan ini kita sering menyaksikan Al-Qur’an hanya ditanggapi dengan kebisuan dan kebutaan. Misalnya Al-Qur’an hanya dibaca beramai-ramai ketika ada upacara kematian sebagai bentuk kepadulian terhadap keluarga dan si Mayat. Maka tidak aneh, kendati Al-Qur’an diagung-agungkan, tapi perilaku umat Islam jauh dari pesan-pesan suci Al-Qur’an. Perilaku bertentangan dengan Al-Qur’an masih jalan terus malah semakin merambah, menggurita dan semakin canggih. Akibatnya, kehidupan umat Islam hanya berjalan ditempat, atau bahkan hanya berpindah dari keterpurukan menuju kenistaan berseri.

Al-Qur’an harus berfungsi sebagai sumber kehidupan, sebagai rujukan dari segala permasalahan umat, mengandung petunjuk-petunjuk bagi umat menusia. Ajaran-ajarannya begitu luas dan petunjuknya meliputi segala aspek kehidupan.

Membaca Al-Qur’an seharusnya diikuti dengan pemahaman dan analisis kritis. Hal ini seharusnya diusahakan oleh sietiap individu Muslim dalam menyikapi kita sucinya. Begitu pula dengan studi-studi Al-Qur’an hendaknya dilakukan secara keseimbangan. Mempelajari Al-Qur’an berarti membaca, memahami, menganalisis, dan mengungkap sunnah-sunnah Allah, termasuk juga pesan-pesan dan ketentuan Allah serta berbagai kebutuhan umat Islam untuk mengisi peranannya dalam peradaban dunia (Al-Ghazali, 1996;18). Dengan demikian, Al-Qur’an bertul-betul menjadi sumber petunjuk manusia dalam kehidupannya agar selamat didunia dan ahirat, Allah telah membentangkan dalam Al-Qur’an petunjuk-petunjuk dan ajaran-Nya untuk difahami dan dipedomi sebagai sumber pembinaan hukum dalam kehidupan manusia.

Orentalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa "tidak ada seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan alat bernada nyaring dan menggetarkan jiwa menandingi yang dibaca oleh Muhammad (Al-Qur’an)" (Shihab, 2005:4). Demikian terpadu dalam Al-Qur’an keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangannya, kedalamn maknanya dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.

Ayat pertama yang turun kepada nabi Mahammad SAW. adalah perintah membaca (Iqro'):

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia manusia dari alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusiaapa yang belum diketahuinya (Q.S. Al-Alaq :96 : 1-5)

Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, dan lain sebagainya. Perintah iqro' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya (Shihab, 2005: 5). Pengulangan peritah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekedar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali dengan mengulang-ulangi membacanya, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi robbika (dengan nama Tuhan) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru. Mengulang-ulang membaca ayat Al-Qur’an menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesejahteraan jiwa dan ketenangan batin. Ayat Al-Qur’an yang kita baca sekarang sedikitpun tidak berbeda dengan yang dibaca oleh Rasul dan generasi terdahulu, namun pemehaman, penemuan rahasianya, serta limpahan kesejahteraan-Nya terus berkembang.

Membaca dalam aneka maknanya adalah syarat pertama pengembangan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban. Peradaban yang bertahan lama justru dimulai dari satu kitab. Peradaban Yunani dimulai dengan "Iliad" karya Homer pada abad ke-9 sebelum masehi, ia berahir dengan hadirnya kitab perjanjian baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berahir dengan filsafat Hegel (1770-1831). Pengetahuan peradaban yang dirancang oleh Al-Qur’an adalah pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan hati (Shihab, 2005: 6).

Maka dari itu, ketika sosok muslim memahami Al-Qur’an dan menjadikannya way of life, niscaya kehidupannya tidak akan tersesat. Karena Al-Qur’an adalah sumber kekuatan umat itu sendiri, semakin dekat dan bersenyawa dengan Al-Qur’an, kekuatan dan kualitas umat akan terus suvive. Namun sebaliknya kondisi umat Islam dewasa ini sangat jauh dengan ayat Allah, baik quraniyah maupun kauniyah. Dalam tataran realitas, ragam umum umat hanya berkisar pada asesoris atau memperindah bacaan. Sedangkan menjadikan Al-Qur’an sumber dari segala sumber petunjuk kehidupan –setelah melalui pembelajaran dan dan pengkajian yang akurat- jarang dilakukan. Akibatnya, semakin hari akidah umat semakin berdebu, ibadahnya semakin terkotori bid'ah disamping praktik-praktik kemusrikan yang semakin menggurita. Sedangkan dalam tataran kauniyah, umat Islam tertinggal jauh dibanding umat-umat lainnya. Jauhnya umat Islam dari ayat-ayat Allah menghantarkan mereka kedalam kubangan prahara yang belum pernah menimpa umat Islam sebelumnya.

B. Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan

1. Pengertian Ilmu Pengetahuan menurut Al-Qur’an

Ilmu menurut Al-Qur’an mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalm kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan, fisika atau metafisika, demikian pendapat para ahli kesilaman (Shihab, 1996:62).

Ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap mahluk-mahluk guna menjalankan fungsi kehalifaannya di dunia. Menurut Al-Qur’an manusia mempunyai potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya, karena itu bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut, berkali-kali pula Al-Qur’an menunjukkan betapa tingginya kedudukan orang-orang yang berpengetahuan

Menurut pandangan Al-Qur’an ilmu terdiri dari dua macam. Pertama, ilmu yang dapat diperoleh tanpa upaya manusia (ilmu ladunni). Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: " lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan seorang hamba dari hamba-hamba Kami, yang telah Kami anugerahkan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami" (Q.S. 18:65). Kedua, ilmu yang diperoleh dengan usaha-usaha manusia (ilmu kasbi). Adanya pembagian ini karena dalam pandangan Al-Qur’an, ada realitas yang tidak dapat dijangkau melalui panca indera saja, dengan menggunakan observasi atau eksprimen. Seperti yang ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya: Maka aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa yang tidak dapat kamu lihat (Q.S. 69:38-39). Sehingga disamping Al-Qur’an menganjurkan untuk mengadakan observasi dan eksprimen (Q.S. 29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan akal dan intuisi (Q.S. 69:16-78).

2. Al-Qur’an Sebagai Sumber Ilmu

Al-Qur’an menerapkan asas peradaban dalam sejarah Islam. Ayat-ayat ahkam merupakan cikal bakal tumbuhnya Ilmu Fikih. Tetapi apakah Al-Qur’an hanya berisikan ayat-ayat ahkam saja? apakah Al-Qur’an hanya merupakan sekumpulan ayat-ayat yang tidak bersifat dialogis?. Ada kisah-kisah dialogis dalam Al-Qur’an, juga ada pembicaraan yang berkenaan dengan fitrah manusia. Kisah-kisah dialogis diatas dapat dikembangkan menjadi filsafat Islam yang mengungkapkan fitrah, seperti yang sudah dilakukan penulis buku Hay bin Yaqzan.

Pemikiran atau azaz qurani yang semacam inilah yang membuat tumbuh dan berkembangnya filsafat Islam yang pernah ada dan berjaya dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam. Disamping juga ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti, ilmu sejarah, psikologi, sosiologi, dan etika.

Ilmu-ilmu kemanusiaan modern, adalah ilmu-ilmu dasar dalam filsafat kemanusiaan, sekaligus sebagai dasar kebudayaan Islam. akan tetapi, ilmu-ilmu tersebut juga belum mendapat perhatian yang semestinya dalam kebudayaan Islam. Salim Behrisi (1996:106) mengatakan bahwa Fikih Islam –dalam menanggapi masalah-masalah masa kini– mengalami perubahan yang tidak edial dan hanya melahirkan hukum-hukum dikotomis.

Dalam mengkaji Al-Qur’an, dulu maupun sekarang, yang penting kita dapat melakukannya seperti yang dilakukan kebanyakan orang dalam mengkaji masalah alam material –seperti yang dilakukan ahli geologi, ahli falak, ahli antariksa, dan lain sebagainya– yang tidak memaksakan pandangannya kepada orang lain, karena keahlian masing-masing berbeda. Tetapi dari kalangan kita, misalnya kita menjumpai para ahli fikih mewajibkan umat Islam dengan fuqoha furu’ dan menerapkan semuanya dalam kebudayaan Islam. Sehingga akibatnya ilmu-ilmu kemanusiaan begitu tertinggal jauh, seperti halnya ilmu-ilmu alam dan ilmu pengetahuan lainnya. Padahal Al-Qur’an mencakup keseluruhannya dan mampu melahirkan berbagai pengetahuan yang menjadi kebutuhan manusia.

3. Objek Ilmu Pengetahuan

Berdasarkan pembagian ilmu pengetahuan diatas, maka secara garis besar objek ilmu pengetahuan dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu alam materi dan alam non materi. Sains mutakhir yang mengarahkan pandangan kepada alam materi, menyebabkan manusia membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengakui adanya realiatas yang tidak dapat dibuktikan di alam materi. Karena itu, objek ilmu menurut mereka hanya mencakup sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas, dan pengalihan antar budaya.

Objek ilmu menurut ilmuan Muslim mencakup alam materi dan non materi. Oleh karena itu sebagian mereka –hususnya kaum sufi- memperkenalkan ilmu yang mereka sebut "Al-Ilahiyyah Alkhams" (lima kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hirarki keseluruhan realitas wujud. Kelima hal tersebut adalah

Para pakar selalu berusaha meletakkan metodologi ilmiyah untuk mengikat rantai fenomena-fenomena yang saling berkaitan dalam kehidupan dan dan mengaturnya, sebagaimana seruan Allah kepada umat manusia untuk melakukan riset dan belajar (Q.S. Al-Alaq : 1-5).

Muhammad Abduh dalam bukunya At-tauhid " menjelaskan Al-Qur’an datang dan membangun sebuah metode agama yang belum pernah dibangun oleh kitab-kitab suci sebelumnya, sebuah metode yang sesuai untuk dilaksanakan oleh ahli zamannya dan oleh orang-orang setelahnya (Abdushshmad: 2003: 19). Disamping Allah menyeru manusia mengkaji Al-Qur’an, Dian juga menjelaskan prinsip-prinsip riset ilmiyah, cara-cara, dan komponen-komponennya, baik berupa material maupun moral, agar manusia dengan sendirinya memahami eksistesi Al-Qur’an dan menemukan hakekat kebenaranya.

4. Prinsi-prisip Riset Ilmiyah dalam Al-Qur’an

Sebagai mana para ahli mengatakan bahwa sebuah riset imiyah harus didasari oleh beberapa prinsip agar mencapai suatu kesimpulan yang diharapkan. Kebebasan berfikir merupakan pilar utama dalam riset ilmiyah, tanpa adanya ikatan apapun. Sehingga manusia mampu berjalan dengan apa yang dikaruniakan Allah terhadap ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, kebebasan berfikir berasal dari dua sumber:

a. Bentuk asli akal manusia. Allah dengan kehendakNya menjadikan bentuk akal manusia bebas dari ikatan yang membatasi gerak langkahnya, ia bebas berfikir tentang apa saja yang diinginkan.

b. Kaidah-kaidah luar yang mempengaruhi cara berfikir manusia, seperti prinsip-prinsip agama, hukum, peraturan-peraturan sosial, dan apa yang dilahirkan oleh pemahaman dan nilai-nilai yang secara langsung mempengaruhi persepsi dan pola pikir.

Begitu juga metodologi riset meletakkan hal-hal tersebut pada porsi yang tepat. Kebebasan berfikir dalam ilmu pengetahuan ditegaskan dalam Al-quran:

"Apakah mereka tidak memperhatikan unta begaiman ia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan,. Maka, berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka" (Q.S. Al-Ghasyiyah:17-22)

"katakanlah, perhatikanlah apa yang ada dilangit dan dibumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rosul-rosul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman"(Q.S. Yunus:101).

Namun disamping Allah memberi kebebasan dalam berfikir, Dia juga membatasi fenomena-fenimena yang harus dianalisis manusia yang merupakan prinsip penting dalam riset ilmiyah, yaitu pembatasan pokok-pokok permasalahan. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa Air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya, dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sesungguhnya (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan" (Q.S. Al-Baqarah:164).

Selain itu riset ilmiyah harus didasari suatu argumentasi yang benar. Allah memperingatkan dan melarang hambaNyamendalami sesuatu tanpa ilmu. Ini merupakan prinsip dasar ilmiyah. Dalam hal ini Allah berfirman :

"Jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawannya" (Q.S. Alisra':36)

C. Al-Qur’an Dan Spritual

Dunia saat ini mendambakan kedamaian hidup. Bukan saja kedamaian rumah tangga, antar tetangga, kelompok masyarakat dan stabilitas nasional, tetapi pada kedamaian internasional. Kedamaian seberapapun kecil dan besar skalanya akan dapat diterima hanya jika sifat-sifat keserakahan dapat direndam oleh setiap individu manusia. bagi umat Islam, sifat-sifat tersebut dapat dihilangkan jika seseorang telah menghayati dan menyadari sepenuhnya sifat-sifat sabar, tawakkal, ikhlas, tawadhu, dan lain sebaginya, yang semuanya dilakukan atas dasar takwa kepada Allah Swt. sebagaimana diajarkan Al-Qur’an. Nah, Al-Qur’an membahas hal-hal diatas dengan jelas. Namun dalam tulisan ini, hanya akan dibahas dua diantara sekian banyak makna dari spiritual, yaitu takwa dan tawakkal.

1. Makna Takwa

Kata takwa dalam Al-Qur’an disebut sebanyak sembilan kali, diantaranya terdapat dalam surat Al-Baqarah, 197:237. Secara bahasa takwa berate takut dan menjaga diri . menurut istilah syariat takwa berarti menjaga diri dari azab Allah dengan menjauhi tindakan maksiat dan melaksanakan tata aturan yang telah digariskan oleh Allah Swt. dengan kata lain takwa berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya (Saha, 2005:722).

Dalam taqwa terkandung pula pengetian pengendalian manusia akan dorongan emosinya dan penguasaan kecendrungan hawa nafsunya. Selain itu terkandung perintah keada manusia agar ia melakukan hal-hal baik. sikap takwa lahir dari kesadaran moral transidental. manusia yang bertakwa adalah manusia yang memiliki kepekaan moral yang tajam untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan suatu perbuatan. sehingga ia mampu melindungi diri untuk terkontaminasi dengan perbuatan-perbuatan jahat. Fazlurrahman Rahman mengatakan bahwa takwa adalah istilah tunggal terpenting dalam Al-Qur’an.

Takwa pada tingkatan yang tinggi menunujukkan kepribadian manusia yang benar-benar utuh dan integral, yangmerupakan stabilitas yang terjadi setelah semua unsure-unsur positif diserap masuk kedalam hati diri manusia. Takwa merupakan buah dari iman yang sesungguhnya. takwa inilah yang membedakan derajat kemuliaan manusia disi Allah Swt. Dalam Alqura Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu dihadapan Allah adalah yang paling bertaqwa diantara kamu” (Q.S. Al-Hujurot :13).

Orang-orang yang bertakwa mempunyai kekuatan yang mampu menghadapi berbagai macam persoalan hidup, sanggup menghadapi saat-saat yang kritis dan bisa mendobrak jalan-jalan yang buntui.

2. Tawakkal

Secara bahasa tawakkal berarti berserah diri. sedangkan menurut terminologi Islam, tawakkal berarti menyerahkan segala perkara, ihtiar, dan usaha yang dilakukan kepada Allah Swt. serta berserah diri kepadaNya untuk mendapatkan manfaat atau menlak yang mudarot. Alqurtubi mendifinisikan tawakkal dengan sikap berpegang teguh kepada Allah Swt. disertai dengan sikap mengakui kelemahan dan ketidakberdayaan yang ada (Hadi, 2005:737). Tawakkal merupakan pekerjaan hati manusia dan puncak tertinggi dari keimanan. Menurut Prof. Dr. Hamka, pegakuan iman belum berarti kalau belum tiba puncak tawakkal (Hadi :737).

Berkenaan dengan tawakkal, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” menjelaskan:

“Ketahuilah bahwa ilmu itu menimbulkan keadaan dan kedaan membuahkan kerja. Sesungguhnya ada orang yang mengira bahwa pengertian tawakkal itu meninggalkan usaha dengan badan dan meninggalkan perhatian dengan pikiran. ini adalah dugaan orang bodoh, karena hal itu dolarang oleh syarak”.

Karena itu Alghzali membagi tawakkal kepada empat bagian: 1) berusaha memperoleh sesuatu yang data memberi manfaat kepadanya, 2) berusaha melihara sesuatu yang dimilikinya dan menjadikannya bermanfaat, 3) berusaha menolak dan menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa bencaa, 4) berusaha menghilangkan mudarat yang menimpa dirinya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

“dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu tela membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orag-orang yang menyerahkan diri kepada Allah (Ali Imron:159).

Dengan demikian tawakkal yang dianjurkan oleh Allah dalm Al-Qur’an bukan berate tinggal diam tanpa kerja dan usaha, bukan menyerah semata-mata kepada keadaan dan nasib, akan tetapi tawakkal mengandung arti kerja keras dan usaha yang maksimal dalam upaya mencapai tujuannya, dan kemudian menyerahkan semuanya keada Allah Swt.

Nah, ketika manusia betul-betul menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan hidup, semua nilai luhur yang ada dalam Aquran diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari, baik dalam rangka nerinteraksi dengan Allah, manusia, atauun dalam berinteraksi dengan lingkungan, sehinggag segala tindak tanduknya sesuai dengan nilai-nilai qurani.

D. Kesimpulan

Demikianlah pembahasan tentang Eksistensi Al-Qur’an sebagai sumber Intelektual dan spiritual. dan dapat kita petik kesimpulan bahwa Al-Qur’an sebagai kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. hendaknya difahami sebagai pesan Tuhan dan bisikan hati yang melahirkan suatu keyakinan, dengan mengambil hikmah dan pelajaran dari Al-Qur’an dan mampu menjadikannya sebai landasan hidup dan pedoman sehari-hari, sehingga Al-Qur’an betul-betul menjadi sember kebenaran yang sejati menjadi petunjuk bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan dunia.

Berusaha memahami, mengkaji, dan merenungi apa yang sebenarnya dikehendaki Tuhan lewat pesan-pesan dan firmanNya, yang insya-Allah akan banyak menangkap tanda keagungan dan kekuasaan Allah lewat ayat-ayatNya. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua dan menunjukkan kita kepada jalan yang benar.


DAFTAR PUSTAKA

Abdussamad,Muhammad, Kamil, 2003. Mukjizat Ilmiyah dalam Al-Qur’an. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.

Bahrisi, Salim, 1996. Berdialog dengan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Elsaha, M. Isham. 2005. Sketsa Al-Qur’an. Jakarta: Lista Farista Putra.

Shihab, Quraish. 1996. Membumikan Al-Qur’an. Bandung : Mizan.

Shihab, Quraish. 2005. Wawasan Al-Qur’an. Bandung : Mizan.